Dari Amr bin Al Ash bahwasahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang buah yang tergantung diatas pohon, lalu beliau bersabda “Barangsiapa yang mengambil barang orang lain karena terpaksa untuk menghilangkan lapar dan tidak terus- menerus, maka tidak dijatuhkan hukuman kepadanya. Dan barangsiapa mengambil sesuatu barang, sedang ia tidak membutuhkannya dan tidak untuk menghilangkan lapar, maka wajib atasnya mengganti barang tersebut dengan yang serupa dan diberikan hukuman ta’zir. Dan barangsiapa mengambil sesuatu barang sedangkan ia tidak dalam keadaan membutuhkan, dengan sembunyi-sembunyi setelah diletaknya di tempat penyimpanannya atau dijaga oleh penjaga, kemudian nilainya seharga perisai maka wajib atasnya dihukum potong tangan.” HR. Abu Daud.Dari hadist diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa terdapat 3 hukuman yang bisa diperlakukan bagi pencuri. DiantaranyaDimaafkanIni berlaku apabila pencuri berada dalam kondisi terpaksa misal kelaparan dan tidak dilakukan secara terus-menerus. Dalam hadist dijelaskan “Tangguhkan hudud hukuman terhadap orang-orang islam sesuai dengan kemampuanmu. Jika ada jalan keluar maka biarkanlah mereka menempuh jalan itu. Sesungguhnya penguasa tersalah dalam memaafkan, lebih baik dari tersalah dalam pelaksanaan hukuman.” HR. Al- TirmidziSerta dalam Al-Quran“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”QS. Al-An’am 119“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” 173Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Ma’idah 3.Ta’zir dipenjaraHukuman ini berlaku bagi seseorang yang mencuri benda namun nilainya tidak terlalu tinggi. Misalnya menemukan benda di jalan atau mengambil buah di pohon tepi jalan, maka ia wajib mengembalikan benda tersebut atau tanganHukuman ini diberlakukan pada seorang pencuri yang mengambil barang dari penyimpanan atau penjagaan, barang tersebut bernilai jual tinggi dan ia memang memiliki niat mencuri tanpa ada yang Menjelaskan Hukum Potong Tangan Kepada Pencuri Pada dasanya hukum mencuri adalah dosa. Tidak dianjurkan dan dilarang secara agama. Sebab perbuatan mencuri ini merugikan pihak lain. Bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah. Maka itu, untuk memberikan efek jera maka islam memberikan hukuman pada seorang pencuri berupa potong tangan. Tentu saja hukuman ini tidak serta-merta dibuat begitu saja. Namun mengacu ayat Al-Quran yang artinya“Lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri,potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Maha Perkasa lagi Maha barangsiapa bertaubat di antara pencuri-pencuri itu sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri,maka sesungguhnya Allah menerima Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Maidah 38-39.Hukum Mencuri dalam IslamSelain itu juga diperkuat dengan hadist-hadist shahih yang menjelaskan bahwa pada zaman terdahulu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menjatuhi hukuman potong tangan kepada seorang pencuri.“Diceritakan bahwa di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri. Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian, Rasulullah SAW memerintahkan agar ia segera dihukum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum terkejut mendengar berita memalukan yang akan menimpa salah seorang wanita keturunan terhormat mereka karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi kesayangan Nabi, agar ia mau memintakan grasi dari Rasulullah terhadap wanita kabilahnya. Kemudian Utsamah memohon grasi untuk wanita tersebut, dan ternyata jawaban beliau “Apakah kamu meminta grasi terhadap salah satu hukuman had Allah?”. Kemudian Nabi memanggil semua kaum muslimin lalu beliau berpidato “Wahai umat manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah hancur, karena mereka menerapkan hukuman had terhadap orang yang lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja. Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah anak Nabi mencuri, maka pasti akan kupotong tangannya.” HR. Bukhari.Hadits lain yaitu“Dari Aisyah radhiyaallahu anha, sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah bersabda; bahwasanya binasa orang-orang sebelum kamu disebabkan karena mereka melaksanakan hukuman hanya kepada orang-orang yang hina dan mereka tidak melaksanakannya kepada orang-orang bangsawan. Demi yang jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya Fatimah yang melakukannya, pasti aku potong tangannya.” HR. Bukhari.
1 Barang yang dicuri harus berupa mal mutaqawwim, yakni barang yang dianggap bernilai menurut syara'. Barang-barang yang tidak bernilai menurut pandangan syara' karena zatnya haram, seperti bangkai, babi, minuman keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal mutaqawwim, dan orang yang mencurinya tidak dikenai hukuman.[4] 2.
Ilustrasi mencuri. Foto pixabayMencuri dan merampok merupakan perbuatan buruk yang dilarang oleh semua agama. Hukum mencuri dalam Islam juga dilarang dan akan diganjar dosa besar dari Allah SWT. Secara istilah, mencuri didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga mencapai jumlah nisab, dan orang yang mengambil tersebut tidak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang yang dalam buku Fikih Madrasah Aliyah karya Harjan Syuhada 2019, hukum mencuri dalam Islam adalah haram dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah SWT mengutuk pelaku yang melakukan pencurian tersebutDalam hal ini, Islam telah menetapkan had bagi pelaku pencurian. Bagaimana rinciannya? Untuk mengetahuinya, simaklah penjelasan dalam artikel berikut Mencuri dalam IslamIlustrasi uang. Foto pixabaySejatinya, Islam melarang umatnya untuk mencuri. Karena dapat merugikan orang lain, mencuri merupakan perbuatan yang menghasilkan dosa besar bagi SWT mengutuk orang yang mencuri dan akan memberikan balasan kepada mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda “Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya, dan pencuri tali lalu dipotong tangannya.” HR. Bukhari dan MuslimPara ulama mengatakan bahwa sebab diharamkannya mencuri karena adanya kepemilikan harta dengan cara yang batil. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” Dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan yang mencuri harus dipotong kedua tangannya. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang syarat yang menyebabkan seorang pencuri harus dipotong perbedaan pendapat tersebut juga mengarah pada bagian tangan yang harus dipotong dan nisab batas minimal barang curian. Namun didasarkan pada dalil-dalil shahih, mayoritas ulama mengatakan bahwa batas minimalnya adalah 1/4 dinar atau setara dengan 93,6 gram mencuri. Foto pixabayDengan ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa tidak semua jenis pencurian bisa dijatuhi hukuman potong tangan. Misalnya ketika seorang anak mencuri harta bapaknya sendiri yang tidak mencapai nisab, seorang suami mencuri uang istrinya, dan orang miskin yang mencuri uang di Baitul begitu, setiap orang yang mencuri tetap harus dijatuhi hukuman yang sesuai dengan kebijakan masing-masing wilayah. Mengutip buku Hukum Islam karya Prof. Dr. Palmawati Tahir 2018, orang yang mencuri juga wajib mengembalikan harta curiannya atau menggantinya apabila barang tersebut sudah Indonesia, seorang pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan. Secara umum, perkara pencurian ini dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima 5 tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”Apa definisi mencuri?Apa hukuman bagi orang yang mencuri dalam Islam?Apa hukuman mencuri di Indoensia?
Hukuman Bagi Pencuri Dalam Islam وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَمِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ * فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ * أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Tidakkah kamu tahu, bahwa Allah memiliki seluruh kerajaan langit dan bumi, Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki dan mengampuni siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” QS. Al-Ma’idah 38-40. Sebab Turunnya Ayat Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Thu’mah bin Ubairiq ketika ia mencuri baju besi tetangganya yang bernama Qatadah bin Nu’man di dalam kantong tepung yang koyak. Ia menyembunyikannya di tempat Zaid bin Samin al-Yahudi. Maka tepungnya pun tercecer dari rumahnya Qatadah hingga ke rumahnya Zaid. Ketika Qatadah tahu ada pencurian, ia mencarinya di tempat Thu’mah namun ia tidak menemukannya. Thu’mah bersumpah bahwa ia tidak mengambilnya dan tidak tahu menahu mengenainya. Kemudian mereka mengetahui adanya tepung yang tercecer, maka mereka pun mengikutinya hingga sampai ke rumahnya Zaid. Mereka lalu mengambil baju besi tersebut darinya. Zaid berkata serahkan baju besi itu kepada Thu’mah. Orang – orang dari kalangan Yahudi menyaksikan juga yang demikian itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun berdebat mengenai Thu’mah karena baju besi itu ditemukan pada selain tempatnya, maka Allah pun menurunkan firman-Nya “Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.” QS. An-Nisa’ 107. Kemudian diturunkanlah QS. Al-Ma’idah ayat 38 ini sebagai penjelas hukuman bagi pencurian. Ahmad dan yang lainnya mengeluarkan riwayat dari Abdullah bin Amru bahwasanya ada seorang perempuan yang mencuri di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kemudian tangannya yang kanan dipotong. Perempuan tersebut berkata Apakah taubatku diterima ya Rasulullah? Maka Allah pun menurunkan di dalam surat al-Ma’idah فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. Al-Ma’idah 39. Tafsir dan Penjelasan Allah ta’ala memerintahkan para penguasa untuk menghukum laki – laki dan perempuan yang mencuri dengan hukuman potong tangan. Barang siapa yang mencuri baik itu laki – laki maupun perempuan, dipotong tangannya dari pergelangan tangannya dan dimulai dengan tangannya yang sebelah kanan. Jika ia mengulanginya lagi mencuri lagi maka dipotong kaki kirinya dari sambungan telapak kakinya, kemudian tangan kirinya, kemudian kaki kanannya, kemudian dita’zir dan dipenjara sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda إذا سرق السارق فاقطعوا يده، ثم إذا عاد فاقطعوا رجله اليسرى “Bila seorang pencuri mencuri maka potonglah tangannya, kemudian bila ia mengulanginya lagi maka potonglah kaki kirinya.” Ini adalah pendapatnya Malikiyah dan Syafi’iyah. Hanafiyah dan Hanabilah berkata tidak dipotong lagi pada asalnya setelah tangan kanan dan kaki kirinya dipotong. Al-Qur’an juga menyatakan hukuman bagi wanita pencuri karena banyaknya kejadian pencurian yang dilakukan oleh wanita sebagaimana dilakukan oleh laki – laki serta untuk menetapkan sebenar – benarnya larangan. Meskipun pada umumnya dalam pensyariatan hukum -hukum, kaum wanita itu termasuk dalam hukumnya kaum laki -laki. Pencurian adalah mengambil harta dengan diam – diam dari tempat yang terjaga atau semisalnya. Tempat yang terjaga itu ada dua jenis a. Terjaga dengan sendirinya yaitu tempat seperti rumah dan koper atau peti. b. Terjaga oleh selainnya yaitu ada penjaganya seperti tempat – tempat umum yang dijaga oleh penjaga dan harta benda yang ada pemiliknya di sisinya. Tempat yang terjaga adalah apa saja yang berdasarkan kebiasaan digunakan untuk menjaga harta – harta manusia. Tidaklah seorang pencuri dipotong tangannya kecuali bila ia telah akil baligh sebagaimana ia adalah orang yang dituntut dengan seluruh beban hukum syar’i dan di antaranya adalah hukuman hudud. Tidak ada pemisahan di dalamnya antara kejahatan yang dilakukan berjamaah atau sendiri – sendiri. Hukuman tersebut tidak boleh diterapkan pada kejadian yang syubhat ragu – ragu seperti pencurian dari mahram dan tamu dari tuan rumahnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Adiy dari Ibnu Abbas ادْرَءُوا الْحُدُودَ بِالشُّبُهَاتِ “Hindarkanlah hudud dengan adanya syubhat – syubhat”. Hukuman dapat dijatuhkan bila pencuri itu mengambil harta dari tempat yang terjaga baik itu yang sifatnya terjaga oleh tempat itu sendiri maupun dijaga oleh penjaga, karena riwayat yang disampaikan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai buah kurma yang masih menggantung di pohon, beliau bersabda وَمَنْ سَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا بَعْدَ أَنْ يُؤْوِيَهُ الْجَرِينُ فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ “Dan barang siapa yang mencuri sebagian darinya setelah terkumpul dalam tempat pengeringan dan mencapai harga perisai maka tangannya dipotong.” Hukuman juga baru dapat dijatuhkan bila barang yang dicuri sampai pada kadar nishob syar’i. Para fuqaha’ memiliki dua atau tiga pendapat mengenai kadar nishob syar’i bagi pencurian. Al-Hasan al-Bashri dan Dawud az-Zhahiri berkata wajib dipotong tangan bagi pencurian sedikit maupun banyak berdasarkan zhahir nya ayat serta hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhain Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ “Allah melaknat pencuri yang mencuri telor maka tangannya harus dipotong, dan mencuri tali maka tangannya harus dipotong.” Jumhur ulama’ berkata dipotong tangannya pencuri dalam pencurian senilai seperempat dinar atau tiga dirham ke atas berdasarkan riwayat Ahmad, Syaikhain Bukhari & Muslim, dan para pemilik kitab Sunan dari hadits Aisyah radhiyallahu anha قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Tangan pencuri dipotong jika senilai seperempat dinar keatas.” Juga berdasarkan hadits dalam Shahihain Bukhari & Muslim dari Ibnu Umar أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ “Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memotong tangan pencuri karena mencuri perisai yang harganya tiga dirham.” Dan ini adalah perkataannya empat Khulafaur Rasyidin. Hanafiyah berpendapat bahwa nishob pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham, maka tidak dipotong pencurian yang tidak mencapai sepuluh dirham berdasarkan riwayat Ahmad dari Abdullah bin Amru beliau berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda لَا قَطْعَ فِيمَا دُونَ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ “Tidak ada potong tangan jika yang dicuri kurang dari sepuluh dirham.” Kalau tidaklah hadits ini dhaif, maka mungkin untuk merajihkan Madzhab Hanafiyah sebagai bentuk kehati – hatian dan karena hukuman hudud itu dihindarkan karena adanya syubhat. Juga karena harga perisai yang menyebabkan Nabi memotong tangan pencurinya berbeda – beda dalam kadarnya, ada yang kadarnya tiga dirham, empat dirham, lima dirham, atau sepuluh dirham. Dalam hal ini mengambil jumlah yang paling banyak dalam bab hudud lebih utama dalam rangka menghindari syubhat. Pencurian itu kadangkala ditetapkan dengan pengakuan atau dengan bukti 2 orang saksi. Hukuman pencurian dapat dibatalkan dengan adanya maaf dari orang yang dicuri, taubat sebelum urusan tersebut naik sampai ke hakim, dan dengan dimilikinya barang yang dicuri tersebut dengan hibah atau yang lainnya meskipun setelah urusan tersebut naik sampai kepada hakim dalam madzhabnya Abu Hanifah dan Muhammad. Adapun menurut madzhab jumhur ulama’ disyaratkan kepemilikan tersebut terjadi sebelum urusan itu naik kepada hakim berdasarkan riwayat عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَفْوَانَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ نَامَ فِي الْمَسْجِدِ وَتَوَسَّدَ رِدَاءَهُ فَأُخِذَ مِنْ تَحْتِ رَأْسِهِ فَجَاءَ بِسَارِقِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْطَعَ فَقَالَ صَفْوَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أُرِدْ هَذَا رِدَائِي عَلَيْهِ صَدَقَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ Dari Abdullah bin Shafwan, dari Bapaknya bahwa Ia sedang tidur di sebuah masjid berbantalkan selendangnya, lalu selendang tersebut diambil oleh seseorang dari bawah kepalanya. Kemudian ia datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan membawa pencuri selendangnya itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar tangan si pencuri dipotong, Shafwan berkata; “Wahai Rasulullah! Aku tidak menginginkan hal ini. Biarlah selendangku sebagai sedekah untuknya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Mengapa tidak kau lakukan itu sebelum kau bawa permasalahan ini padaku! ” HR. Ibnu Majah dan yang lainnya. Wajib mengembalikan barang yang dicuri bila masih ada, dan dengan nilainya saja bila telah habis digunakan menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah berdasarkan riwayat Ahmad, Ashab as-Sunan, dan al-Hakim dari Samurah عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ “Bagi tangan bertanggung jawab terhadap apa yang diambil hingga ia menunaikannya mengembalikannya.” Tidak wajib mengembalikan senilai barang yang dicuri saat sudah habis digunakan menurut Hanafiyah. Karena tidak berkumpul antara hukuman dengan ganti rugi لا يجتمع حد وضمان berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh an-Nasa’i dari Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda لَا يُغَرَّمُ صَاحِبُ سَرِقَةٍ إِذَا أُقِيمَ عَلَيْهِ الْحَدُّ “Tidaklah seorang pemilik harta curian itu dihutangi jika telah ditegakkan hukuman atasnya.” Akan tetapi hadits tersebut adalah hadits mursal. Malikiyah dalam hal ini mengambil jalan pertengahan, mereka berkata apabila pencuri itu berkecukupan saat dijatuhi hukuman, wajib atasnya hukuman potong tangan dan hutang atas barang yang dicurinya sebagai pemberat hukuman baginya. Bila pencuri itu kesulitan saat dijatuhi hukuman maka tidak diikuti dengan mengganti senilai barang yang dicurinya, wajib potong tangan saja dan ditiadakan hutang barang curian atasnya sebagai keringanan dengan sebab udzur kemiskinan dan kebutuhan. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjustifikasi hukuman bagi pencurian, maka Allah berfirman جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ “sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.” QS. Al-Ma’idah 38. Yakni bahwasanya potong tangan bagi laki – laki dan perempuan yang mencuri itu adalah balasan atas perbuatan dan usaha buruk keduanya. Siksaan dari Allah yakni penghinaan dan pencegahan untuk kembali melakukan pencurian serta sebagai pelajaran bagi yang lain. Hukuman tersebut, meskipun sebagian manusia membencinya, adalah hukuman yang tepat yang paling berpengaruh dan dapat mencegah pencurian serta memastikan keamanan harta dan jiwa manusia. Tidak ada yang menyadari bahaya bagi jiwa, kecemasan, dan ketakutan terhadap pencurian terutama di malam yang gelap, kecuali bagi orang yang berhadapan langsung dengan pencurian. Disamping adanya kerugian, pencurian dapat menjadikan seseorang kehilangan dan putus asa sehingga butuh kepada pinjaman untuk kebutuhan pokoknya dan kebutuhan keluarganya. Maka ia berharap agar pencuri itu tertangkap dan diberi hukuman. Pencurian menyebabkan adanya kegelisahan. Lingkungan yang berhadapan dengan pencurian akan timbul banyak ancaman bahaya, sehingga hampir -hampir manusia tidak dapat tidur dengan tenang. Ketika maling menerobos di malam hari atau di siang hari, maka ia menimbulkan kekhawatiran terhadap warga. Kadang – kadang bahkan disertai dengan pembunuhan dan penembakan. Pada yang demikian itu ada kerusakan dan bahaya yang tidak mungkin dibatasi hukumannya atau sekedar memberi tahu konsekuensinya. Berapa banyak di antara manusia yang telah tua, wanita, anak – anak, dan orang -orang yang ketakutan tidak dapat tidur di rumah – rumah mereka karena bahaya pencurian. Hingga sesungguhnya pembunuhan itu terkadang sulit disamakan dengan pencurian dalam pikiran saya karena pembunuhan adalah kejadian tunggal yang selesai pengaruhnya seketika itu juga dengan dinisbahkan kepada selain keluarga korban. Pembunhan terjadi secara terbatas dengan kaitan yang khusus antara yang membunuh dan yang dibunuh. Adapun masalah pencurian, pengaruhnya bersifat umum dan terus menerus. Ancaman pencurian menjauhkan ketenangan dan kepercayaan para pemilik harta, para pedagang, para petani, dan para pemilik gedung serta mengancam kekayaan mereka dengan kerugian dan kerusakan. Kemudian Allah ta’ala menegaskan keharusan hukuman bagi pencuri dengan berfirman وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” QS. Al-Ma’idah 38. Yakni berlaku dalam pelaksanaan perintah – perintah-Nya sesuai kehendak-Nya, Ia Maha Kuat dalam memberi balasan kepada pencuri dan Maha Bijaksana dalam mensyariatkannya. Tidaklah Allah mensyariatkan sesuatu kecuali ada maslahat dan hikmah padanya. Allah menyusun hukuman dan sanksi dengan apa saja yang menurut Allah paling tepat. Dalam hal ini potong tangan adalah untuk mengakhiri kejahatan itu serta menghilangkannya hingga ke akar – akarnya. Hukuman itu dapat mencegah yang lainnya dari berbuat kejahatan yang semisal. Seolah olah Allah berfirman jangan lunak dalam hal pencurian dan keraslah dalam menerapkan hukuman terhadap mereka. Pada yang demikian itu semuanya adalah kebaikan meskipun para pendengki tidak menyukainya dan orang – orang yang jahil mengkritiknya. Kemudian Allah ta’ala menjelaskan hukum bagi orang – orang yang bertaubat yang menyesali perbuatan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Allah berfirman فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. Al-Ma’idah 39. Yakni barang siapa yang bertobat setelah ia mencuri dan kembali kepada Allah, berhenti dari mencuri, mengembalikan harta yang dicurinya atau menggantinya, memperbaiki dirinya dan berusaha membersihkannya dengan amal – amal kebaikan dan taqwa, dan adalah niat taubatnya itu tulus serta berazam untuk tidak mengulanginya lagi, maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya dan ia tidak diazab di akhirat. Adapun hukuman potong tangan tidak dibatalkan dengan adanya taubat menurut jumhur fuqaha’, dan dapat dibatalkan menurut Hanabilah, ini adalah yang utama karena penyebutan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang dalam QS. Al-Ma’idah ayat 39 menunjukkan atas batalnya hukuman yakni potong tangan. Allah ta’ala menegaskan keadilan hukuman bagi pencurian ini dan bahwasanya hukuman tersebut datang atas kesesuaian hikmah, keadilan, dan rahmat. Maka Allah berfirman أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Tidakkah kamu tahu, bahwa Allah memiliki seluruh kerajaan langit dan bumi, Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki dan mengampuni siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” QS. Al-Ma’idah 40. Yakni tidakkah kamu tahu wahai Rasul wakil penyampai hukum Allah, bahwasanya Allah adalah penguasa bagi segala yang ada di langit dan di bumi, Dia adalah pengaturnya dan hakim terhadapnya yang tidak ada yang dapat menolak hukumnya? Dia melakukan apa saja yang Ia kehendaki dan Ia tidak melakukan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat hikmah, keadilan, dan rahmat. Hingga terdapat keamanan bagi individu dan jama’ah serta ketenangan jiwa atas harta – harta mereka. Di antara hikmahnya adalah bahwasanya Allah meletakkan balasan bagi para penyerang/penyamun yang membuat kerusakan di muka bumi dan pencuri yang menebar ketakutan terhadap harta dan kebebasan manusia, dan bahwasanya Ia mengampuni orang – orang yang bertaubat dari kedua golongan tersebut bila mereka benar dalam taubatnya dan memperbaiki perbuatan mereka karena tujuan sebenarnya bukanlah hukuman itu sendiri namun untuk mewujudkan kebaikan, menebar keamanan dan ketenangan. Termasuk hikmahNya dan keadilanNya bahwasanya Ia menghukum orang yang tidak taat sebagai pengajaran dan pencegahan bagi mereka serta sebagai contoh dan jaminan bagi kemaslahatan hamba. Di antara rahmatNya adalah bahwasanya Ia menyayangi orang – orang yang bertaubat dan membatalkan hukuman bagi mereka. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu baik itu dalam hal hukuman maupun rahmat, dan Allah menyayangi hambaNya lebih dari diri mereka sendiri, lebih hebat daripada kasih sayangnya ibu kepada anaknya. Hukuman itu bagi para penyamun dan pencuri adalah untuk kemaslahatan mereka dan kemaslahatan saudara – saudara mereka di masyarakat. Maka tidak ada seseorang pun dalam masyarakat yang menangis atas tangan yang bergelimang dosa atau merasa kasihan atasnya karena anggota badan tersebut rusak dan menimbulkan kemudhorotan yang menghancurkan dan membinasakan, dan tidaklah ada di dalamnya harapan kebaikan bila tidak diperbaiki kondisinya. Wallahu alam bi as-shawab. Rujukan Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.Dalamhal kemudahan atau keringanan dijelaskan dalam sebuah kaidah hukum Islam yang berbunyi "kesulitan mendatangkan kemudahan". tidaklah diperbolehkan rombongan tersebut mencuri makanan di pertengahan perjalanan. Hal tersebut memang dalam kondisi kesulitan, akan tetapi kaidah kesulitan dapat meringankan dalam kasus ini tidak dibernakan TUJUAN TIDAK BOLEH MENGHALALKAN SEGALA CARAOleh Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan“Yang penting niat dan tujuannya baik“, itulah ungkapan yang sering didengar dari para pelaku perbuatan yang menyelisihi syariat, ketika tidak lagi memiliki alasan lain. Ungkapan ini dijadikan tameng untuk menangkis teguran dan kritikan yang diarahkan ada yang menjadikan ungkapan ini sebagai landasan untuk melegalkan dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan niat baiknya, baik dalam urusan dunia maupun agama. Misalnya, demi mewujudkan niat beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , namun segala cara ditempuh termasuk cara yang mengandung bid’ah atau yang lain ingin menegakkan agama dan membela kehormatan kaum Muslimin tetapi mereka menempuh cara-cara yang sangat buruk dengan melancarkan aksi teror, membunuh, mencuri serta bom bunuh diri. Ada juga yang ingin berdakwah, tetapi dengan musik dan sinetron Islami’.Dalam urusan dunia, ada yang ingin menggenggam jabatan dan kedudukan, Namur dengan melegalkan suap, bohong dan tindak kedzaliman. Kekayaan dan harta melimpah termasuk diantara yang menyilaukan banyak orang sehingga segala cara untuk meraihnya ditempuh, tanpa peduli halal dan sebagian fakta zaman sekarang ini, kehidupan materialis yang sangat terwarnai fitnah syubuhât dan syahawât. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah status ungkapan apapun dilakukan, yang penting niat dan tujuannya baik’ dalam pandangan Islam? Apakah tujuan yang baik boleh menghalalkan segala cara?Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu sebuah kaedah masyhur dan agung yang berkaitan dengan tujuan al-maqâshid dan sarana al-wasîlah yang berbunyi الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِSarana memiliki hukum sama dengan tujuannyaSarana adalah sesuatu atau metode yang digunakan untuk meraih atau mewujudkan maksud dan tujuan. Maksud dari kaidah di atas adalah hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika tujuan yang dicapai hukumnya wajib, maka sarananya juga demikian hukumnya wajib. Bila tujuannya haram, maka sarana untuk mencapainya pun hukunya juga haram. Dan apabila tujuannya bersifat mubah, sunat atau makruh, maka hukum sarananya begitu juga. Oleh karenanya, jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali melalui suatu sarana tertentu, maka sarana cara tersebut wajib dilakukan. Dari sini terpahami betapa pentingnya sebuah perlu di ketahui bahwa sarana itu terbagi dua Sarana yang baik. Sarana inilah yang hukumnya sama dengan hukum tujuan atau yang tidak baik. Sarana ini tidak boleh dilakukan, meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram terlarang, seperti mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya menunjukkan bahwa dalam syari’at islam, maksud yang baik harus digapai dengan sarana cara yang baik pula atau dibenarkan syariat. Sebab tujuan dan maksud tertentu tidak menghalalkan segala cara dan sarana, kecuali dalam kondisi yang sangat dhorurat, dan itu pun harus diukur sesuai dengan kadar kedaruratannya, tidak bebas. Hal ini berdasarkan kaedah الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ Keadaan yang dharurat menyebabkan sesuatu yang terlarang menjadi bolehDan kaidah lain yaitu الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا Keadaan dharurat diukur dengan kadarnyaDengan demikian jelaslah bahwa kaidah tujuan membolehkan segala cara“ adalah sebuah kaedah yang keliru dan batil. Akan tetapi, kaedah yang benar adalah الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ Tujuan tidak membolehkan wasilah cara kecuali dengan dalilPengertiannya, bahwa tujuan niat baik tidak bisa begitu saja membenarkan menghalalkan sarana yang terlarang, kecuali bila ada dalil yang membolehkan sarana tersebut. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang pun berdalih dengan niat atau tujuan baik untuk membolehkan sarana yang haram. Akan tetapi, ia harus memperhatikan maksud yang baik, sarana yang syar’i dan dampak yang baik sekaligus, dan bila terdapat dalil yang shahîh yang membolehkan melakukan sarana yang terlarang untuk mengaplikasikan, menyelamatkan dan memelihara tujuan yang baik, maka hukum tersebut hanya khusus untuk sarana itu saja, seperti berbohong untuk mendamaikan atau memperbaiki hubungan persaudaraan sesama Muslim, berbohong untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa dari bahaya, bohong menipu orang kafir dalam perang dan suami berbohong kepada istri demi terjalinnya keharmonisan dan kasih- sayang antara mereka berdua. Ini semua telah dijelaskan oleh hadits hadits yang shahîh. Nabi bersabdaلَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ ويَقُولُ خَيْرًا ويَنْمِي خَيْرًا. Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia, ia berkata baik dan menaburkan kebaikan “.Tentang hadits ini, Ibnu Syihâb rahimahullah, termasuk perawi hadits ini mengatakanوَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.“Saya tidak mendengar ada keringanan dalam suatu kebohongan yang dikatakan oleh manusia kecuali pada tiga perkara dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami kepada istrinya dan pembicaraan istri kepada suaminya“[1].Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaالْحَرْبُ خُدْعَةٌ Peperangan adalah berisi tipu-daya[2]Hukum asal kebohongan itu adalah haram, akan tetapi hukumnya beralih menjadi boleh dalam kondisi di atas demi mewujudkan tujuan yang baik. Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya bukan kebohongan murni, tetapi sekedar berbentuk ta’rîdh ucapan yang tidak berterus-terang.Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bolehnya mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian, ini tidak di perbolehkan. Dalam hadits yang shahîh terdapat kandungan pengertian bolehnya melakukan kebohongan dalam tiga perkara, salah satunya dalam perang. Ath Thabari rahimahullah berkata “Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma’ârîdh tidak berterus-terang bukan kebohongan murni, kalau ini hukumnya tidak boleh’, Imam Nawawi rahimahullah mengomentari “Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta’rîdh tidak berterus-terang dalam berucap adalah lebih afdhol utama Wallâhu a’lam“[3].Dari pemaparan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, apakah tujuan membolehkan segala sarana. Tentu saja, jawabanya tidak!. Itu bukanlah sebuah kaedah syar’i dan prinsip agama yang mulia, namun sebuah kaedah yang diadopsi dari seorang non-Muslim, tiada lain sumbernya kecuali teori yang di cetuskan oleh seorang politikus Yahudi yang bernama Niccolo Machiaveli yang berasal dari Italia yang hidup antara tahun 1469-1527 M, oleh karenanya kaedah ini dikenal dengan teori Machiaveli[4].Sebuah kaedah yang jelas kebatilannya, bertentangan dengan kaedah syari’ yang menjelaskan bahwa setiap amalan hanya diperbolehkan dan dihukumi sebagai amal sholeh apabila tujuannya baik, sarananya baik dan berdampak berakibat antara perkara yang menjelaskan kebatilan teori Machiaveli ini sebagai berikut[5] 1. Islam mengharuskan manusia memperhatikan sarana cara sebagaimana memperhatikan maqooshid tujuan. Siapa saja yang hanya memperhatikan tujuan, tanpa mempedulikan sarana cara pencapaiannya, berarti orang ini telah mengambil sebagian agama, sekaligus mengesampingkan sebagian aturan syar’i yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirmanأَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَApakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.[al-Baqarah/2 85]2. Menyelisihi agama dalam pemilihan sarana cara seperti halnya menyelisihi agama dalam penentuan tujuan. Allâh Azza wa Jalla berfirmanفَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌMaka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [an-Nûr/2463]Kata أَمْرِهِ dalam ayat di atas adalah sebuah kalimat nakirah umum yang diidhofahkan sandarkan, maka menunjukkan makna yang umum, mencakup seluruh perkara yang berkaitan dengan sarana cara dan Tidak diragukan lagi bahwa kaedah ini adalah faktor utama kerusakan kehidupan dunia, merajalelanya bermacam bentuk kezhaliman, kerusuhan dan kekacauan, dan kebinasaan perkataan sebagian ulama Islam yang menjelaskan kebatilan kaedah yahudiyyah ini, menghalalkan segala cara demi tujuan Imam al Iz Ibnu Abdus Salâm rahimahullah berkata “Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh kecuali dengan bermacam maslahat dan kebaikan, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada-Nya dengan suatu kerusakan dan kejahatan. Berbeda dengan para raja penguasa yang zhalim yang manusia mendekatkan diri kepada mereka dengan kejahatan, seperti merampas harta, pembunuhan, menganiaya manusia, menebarkan kerusakkan, menampakkan kebangkangan dan merusak negeri, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada Rab Allah kecuali dengan kebenaran dan kebaikkan”[6].Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Tidak setiap sebab cara yang dengannya manusia mendapatkan pemenuhan kebutuhannya disyariatkan dan diperbolehkan. Hanya diperbolehkan apabila maslahatnya lebih dominan dari mafsadah kerusakan, bahayanya dari hal-hal yang diizinkan oleh syariat”[7]Itulah sebagian perkataan ulama Islam tentang bahaya dan larangan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Kendatipun demikian hukumnya, akan tetapi kaedah yahudiyyah yang batil ini tetap masih banyak digunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Mereka ini tidak mempertimbangkan dan memilih sarana dan cara yang syar’I yang baik demi mewujudkan tujuan dan Nyata Praktek Kaedah Rusak ini di Tengah Umat Sangat di sayangkan, sebagian orang yang ingin mengajak kepada islam dan memperjuangkan kehormatannya dengan menggunakan kaedah yang batil ini. Berikut beberapa contoh riilnya 1. Sebagian orang ingin menyampaikan dakwah melalui media musik dan perfilman, sehingga kita melihat akhir-akhir ini marak sebagian juru dakwah, artis , pemusik dan pelawak memanfaatkannya sebagai media dakwah!?. Bahkan sebagian aktivis da’wah haraki menggunakan nasyid nyanyian dan sandiwara Islami ! sebagai sarana dakwah dan ini tentu telah menyelisihi prinsip agama yang mulia ini. Islam tidak mengizinkan sarana-sarana yang seperti itu yang sangat jelas mengandung perbuatan haram seperti percampuran lelaki dan perempuan, sentuhan lelaki dan perempuan yang bukan mahram, dusta, musik yang justru melalaikan hati dan kerusakan lainnya. Karenanya, tidak ada dalam kamus Islam istilah musik islami atau nyanyian islami atau film islami dan yang semisalnya. Istilah-istilah seperti itu baru muncul dan dikenal seiring dengan munculnya Jama’ah jama’ah dakwah hizbiyyah harakiyah. Panutan mereka ialah sekte-sekte Shufiyyah yang menjadikan alunan-alunan musik, irama-irama lagu dan syair-syair sebagai bagian yang tidak lepas dari mereka dalam ibadah dan praktek keagamaan. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .2. Bahkan yang lebih aneh lagi, munculnya orang orang yang menamakan diri mereka sebagai pejuang Islam dan pembela martabat kaum Muslimin ! melalui cara melancarkan teror, intimidasi peledakan, bom bunuh diri, pembunuhan dan mencuri serta perampokan demi jihad !?. Subhanallâh! Apakah kerusakan seperti ini dibenarkan oleh Islam? Benarkah aksi-aksi di atas termasuk jihad? Ya, benar, tetapi jihad di jalan setan, bukan jihad di jalan ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, dan sungguh para pelakunya telah berbohong atas nama Allâh, Rasul-Nya dan agama yang mulia ini. Sebab dengan nekad, mereka menamakan kezhaliman dan perbuatan keji yang tidak manusiawi itu dengan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad n sebagai rahmat bagi alam semesta berlepas diri dari aksi-aksi tersebut dan mengutuk para pelakunya dan menghukumi mereka sebagai kaum khawârij dan para terorisme yang melakukan kerusakkan, menebarkan keresahan, kekacauan dan ketakutan di permukaan bumi ini. Allâh Azza wa Jalla berfirmanوَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَاDan janganlah kamu melakukan kerusakkan di permukaan bumi setelah adanya kebaikan QS. A’râf/756Islam tidak pernah menghalalkan pencurian dan perampokkan, sekalipun untuk tujuan baik, sebab Allâh Azza wa Jalla berfirmanوَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌLaki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Mâidah/538]إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌSesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.[al-Mâidah/533]Dan Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bermacam bentuk kezdoliman, sebagaimana dalam hadits qudsiيَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُواWahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan juga di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi [8]Kesalahan dan kezhaliman para penguasa tidak membolehkan kita untuk mengingkarinya dengan sarana cara yang tidak diperbolehkan tidak syar’i, seperti kudeta, demonstrasi dan angkat senjata, serta membeberkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya di media massa dan mimbar. Sebab, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan akan menambah kerusakan dan menimbulkan fitnah yang lebih besar, akan tetapi dengan mengugnakan cara-cara yang syar’i, yaitu dengan memberikan nasehat secara langsung dengan secara berduaan jika hal itu memungkinkan, atau menulis surat kepadanya, serta mendoakan kebaikan baginya, sebab kebaikan mereka adalah kebaikan untuk masyarakat dan negara itu sendiri, dan sabar menghadapi kezhalimannya, karena kezhaliman para penguasa disebabkan oleh kezhaliman rakyatnya sendiri, karena merupakan sunnatullâh bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan para penguasa pemimpin yang memiliki karakter dan keimanan seukuran dengan perilaku, karakter, kepribadian, mentalitas dan keimanan masyarakat suatu negeri. Oleh karenanya, masyarakat jangan bisa menyalahkan dan mengkritik pemerintah saja, tetapi mereka harus mengkoreksi diri dan intropeksi jiwa, sejauh mana mereka telah berbuat keadilan dan meninggalkan heran, kalau para terorisme yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan mereka menamakan aksi dan teror mereka dengan jihad sehingga mereka siap mati dan berkorban demi hal itu, karena pemikiran mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran sesat takfîri sehingga mereka meyakini hal tersebut suatu kebaikkan yang harus dilakukan dan diperjuangkan. Oleh sebab itu, mereka rela mati untuk memperjuangkan jihad’ mereka ini. Dari sini dapat diketahui, mengapa mereka sulit untuk bertaubat dan meninggalkan aksi bom bunuh diri itu. Pasalnya, mereka telah meyakininya sebagai kebaikan dan tidak pernah ada dalam sejarah orang yang bertaubat dari kebaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita akan bahayanya pemikiran yang sesat syubhat. Imam Sufyân ats-Tsauri t mengatakan “Bid’ah lebih disukai oleh iblis dari maksiat, karena pelaku maksiat mudah bertaubat, dan pelaku bid’ah tidak bisa sulit bertaubat”[9].3. Sebagian yang ikut serta dalam percaturan demokrasi yang bersumber dari pemikiran kufur, tidak malu-malu untuk menjalin koalisi bekerjasama dengan partai partai non-Islam untuk menegakkan syari’at Islam atau daulah Islamiyah !?, sebagaimana yang dilakukan dan didengungkan oleh sebagian partai politik atau para aktivis dakwah haraki. Dan sudah tidak malu lagi mencalonkan diri dalam pilkada sebagai wakil dari calon kepala daerah seorang wanita dengan foto berdampingan yang terpampang di banyak tempat umumBahkan seluruh jama’ah dakwah hizbiyyah harakiyah dengan berbagai macam isu yang mereka usung dan latar belakang –secara umum- menggunakan kaedah yang batil ini menghalalkan segala cara demi tujuan. Maka, tidak heran kalau kita melihat dalam dakwah mereka terdapat banyak penyimpangan dari prinsip prinsip aqidah Ahlu Sunnah dan menyelisihi sarana sarana dakwah para Nabi dan dakwah generasi itu, mengikuti manhaj dakwah Salaf adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk mengenal Islam, mengamalkan dan mendakwahkannya. Manhaj dakwah salafiyah selalu menggunakan sarana sarana yang syar’i dan komitmen dengannya dalam mewujudkan tujuan yang mulia dan agama yang suci, indah lagi sempurna ini. Mereka selalu berjalan bersama dalil kemana saja dalil itu mengarah. Inilah salah satu satu keistimewaan dakwah yang berkah ini. Walillâhil Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat tujuan yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria’t Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat dampak yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallâhu a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ______ Footnote [1] HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 6799. Ini hádala lafazh riwayat beliau. Imam al-Bukhâri rahimahullah memberi judul hadits ini dengan باب ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس “Bab Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia”. Sementara Imam Nawawi rahimahullah memberi judulnya dengan باب تحريم الكذب وبيان ما يباح منه “Bab haramnya berbohong dan penjelasan apa kebohongan yang diperbolehkan”. [2] HR. al-Bukhâri no. 3039, 3030 dan Muslim no. 4637, 4638, dari hadits Jâbir bin Abdillâh dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma. Bahkan Imam al-Bukhâri dalam kitah Shahîhnya menulis sebuah bab berjudul باب الكذب في الحرب “Bab Kebohongan dalam perang”. Dan Imam Nawawi memberi judul bab hadits di atas dengan باب جواز الخداع في الحرب “Bab bolehnya penipuan dalam peperangan”. [3] Lihat Syarh Shahîh Muslim 12/45 dan 16/158 Cet. Dar Ihya’ Turats al Arabi. [4] Sebagaimana yang ia paparkan dalam karyanya al-Amîr The Prince hlm. 20. Lihat Qawâidul Wasîlah fisy Syarîatil Islâmiyyah hlm. 291 [5] Lihat Qawâidul Wasîlah hlm. 299-302 [6] Qawâidul Ahkâm 1/112 [7] Mukhtashar al-Fatâwa al-Mishriyyah hlm. 169 [8] HR. Muslim no. 6737 [9] Diriwayatkan oleh al-Lâlaka’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah no. 238 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 7/26. Lihat Majmu’ Fatâwa 10/9-10 Home /A9. Fiqih Dakwah Agama.../Tujuan Tidak Boleh Menghalalkan... ZtIxGe.